Matahari sudah beranjak meninggalkan
singgasananya dan jingga pun sudah berubah warna saat saya dan saudara yang
lain tiba di tempat tujuan. Keramba Pesona Alam, tempat tujuan kami untuk makan
malam pada hari itu. Makan malam di keramba merupakan suatu hal yang baru bagi
saya, mungkin juga bagi saudara saya. Besar di kota Makassar yang tidak
memiliki keramba di sudut kota, membuat kami sangat antusias berada di sini.
Hasil pancingan yang kami dapat langsung diolah di tempat dengan diberikan
olesan minyak kelapa yang sudah dicampur dengan bawah putih yang sudah ditumbuk
dan dicampur dengan kecap. Aroma yang dihasilkan menggugah selera dan membuat
perut kami segera ingin diisi.
Saya dan pemilik keramba masih mencoba
peruntungan melalui kail demi kail yang kami lempar. Istrinya yang masih
mengenakan pakaian pesta bewarna merah. Bagian dada dan pergelangan tangan
dipenuhi manik-manik. Jilbab yang dikenakan senada dengan warna pakaiannya.
Perempuan itu berlari-lari kecil menghampiri kami, membuat papan keramba
sedikit bergoyang.
“Ayo pergi Lulo nak.” ajakan ibu tersebut
kepada saya. Tanpa sempat membalas ajakannya, ibu separuh baya sudah
berlalu meninggalkan kami.
Lulo? Apa itu Lulo? kenapa ibu tadi
mengajak. Melihat muka kebingungan saya, om Igo, suami dari tante saya, yang
saat itu berada dekat dengan saya hampir tertawa melihat saya kebingungan
sendiri. Molulo atau sebutan yang sering dipakai adalah Lulo merupakan
tarian tradisi di daerah ini saat ada acara-acara penting, "seperti pesta
pernikahan, pesta panen raya, atau penyambutan tamu.” jelas om Igo yang masih
sibuk dengan membenarkan posisi umpannya di kail.
Ya saya ingat, setibanya di sini ada pesta
pernikahan di samping rumah pemilik keramba. Saat pertama kali tiba, saudara
saya yang pernah menetap lama di Pomala dan Kota Kendari yang identik dengan
tarian lulo, sempat mengajak saya untuk ikut Molulo, tetapi ajakannya tidak
saya perhatikan karna saking antusiasnya ingin segera memancing.
Tidak berselang lama saat istri pemilik
keramba telah selesai menyiapkan makanan di atas meja kayu panjang di atas
keramba, ibu datang kembali menghampiri kami tetapi dengan kostum yang sudah
berbeda. Ibu itu mengenakan celana panjang jeans dan kaos abu-abu ketat lengan
pendek. Sekali lagi, ibu itu mengajak dengan sedikit memaksa. Katanya
jarang-jarang saya dapat momen seperti ini, apalagi saya baru pertama kali ke
Kendari dan belum pernah ikut atau menyaksikan Molulo. Di kota Kendari tarian
ini sudah tidak terlalu banyak ditampilkan, hanya pada saat penyambutan
tamu-tamu penting atau acara ulang tahun kota, jadi sangat beruntung jika saya
dapat memanfaatkan kesempatan ini.
“Kalau ada acara orang kawin di sini, yang
ditunggu-tunggu itu Lulonya, mau ibu-ibu, bapak-bapak, apalagi anak mudanya
senang sekali kalau ada acara Lulo”. Om Igo menambahkan dengan suara serak dan
dialek khas orang Kendari
“Saya itu sampai sekarang suka ka pergi
Lulo, hitung-hitung olahraga”. Timpal temannya om Igo.
“Ayo mi
pergi Lulo, kita coba-coba mi dulu, simpanmi pancing mu, nanti bisa ji lagi kita pergi mancing”. Ajak om
Igo, sambil berdiri dan menyimpan alat pancing yang sedari tadi dipegangnya.
...
Tepat pukul 9 malam, kursi-kursi plastik
disusun ke atas dan dipindahkan di pinggir tenda, seketika tempat untuk menjamu
tamu di bawah tenda menjadi lapang. Saya pikirnya pesta pernikahannya
telah usai, karena tidak ada lagi tempat untuk menjamu tamu. Tapi ternyata
dugaan saya salah.
Molulo dulunya dilakukan di tempat yang luas
atau lapangan, tapi karena mengikuti zaman dan sudah kurangnya lahan kosong
yang datar, maka tempat untuk menjamu tamu disulap menjadi tempat Lulo untuk
para keluarga, tamu dan penduduk sekitar.
Musik pun dimainkan, ada dangdut koplo
ataupun lagu yang sudah diremix, orang-orang mulai membentuk lingkaran. Saling
bergandeng tangan. Telapak tangan laki-laki berada di atas telapak tangan
perempuan. Setelah membentuk lingkaran dan
bergandeng tangan, mulailah semuanya bergoyang mengikuti irama. Goyangannyapun
hanya maju mundur dan ke kiri - ke kanan. Terlihat dari wajah mereka sangat
bahagia, riuh tawa dan suara musik dari elekton menjadi satu. Benar-benar
tercipta keakraban di antara mereka, tidak memandang usia ataupun suku,
semuanya berbaur menjadi satu dan bersuka cita.
...
Menurut Wikipedia tarian Molulo atau
Lulo berasal dari bahasa Tolaki yaitu Molulo, merupakan salah satu jenis
kesenian tari tradisional dari daerah Sulawesi Tenggara, Indonesia.
Suku Tolaki sebagai salah satu suku yang berada di daerah ini memiliki beberapa
tarian tradisional, salah satu tarian tradisional yang masih sering
dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian persahabatan yang disebut tarian
Lulo.
Pada zaman dulu, tarian ini dilakukan pada
upacara-upacara adat seperti, pernikahan, pesta panen raya dan upacara
pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu gong. Tarian
ini dilakukan oleh pria, wanita, remaja, dan anak-anak yang saling berpegangan
tangan, menari mengikuti irama gong sambil membentuk sebuah lingkaran. Gong
yang digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda ukuran dan jenis
suara. Saat sekarang utamanya di daerah perkotaan, gong sebagai alat musik
pengiring tarian Lulo telah digantikan dengan alat musik modern yaitu
“Electone”.
“Dulu itu, Lulo pakai gong, tapi karena
susahmi didapat gong, makanya sekarang pake electon saja. Dulu juga kalau Lulo,
tidak bisa campur-campur orangnya. Kalau laki-laki ya laki-laki semua, begitupun
sebaliknya, tapi sekarang bisa mi campur-campur orangnya”. Om Igo menjelaskan
kembali.
Pada awalnya, tari Lulo merupakan ritual
untuk memuja Dewi Padi terutama pada seusai panen. Kata Lulo sendiri berarti
menginjak-injak onggokan padi untuk melepaskan bulir dari tangkainya.
Ada pula versi yang berkembang yang
dijelaskan oleh om Igo bahwa tari Lulo pada awalnya lahir ketika masyarakat
Tolaki kuno akan membuka lahan yang dijadikan sebagai tempat bercocok tanam.
Pada saat itulah masyarakat berkumpul pada lahan baru yang akan dibuka itu dan
meminta kepada penguasa alam agar nanti tanaman mereka tidak diganggu oleh
serangan hama dan penyakit. Ketika masyarakat telah berkumpul, kepala suku
memberikan perintah untuk membentuk lingkaran, saling bergandengan tangan dan
menginjak-injak kaki yang disertai dengan bunyi alunan musik gong.
Ada beberapa versi memang, asal usul tari
Lulo ini, tapi inti dari semuanya adalah persahabatan dan tarian rasa syukur
kepada sang pencipta.
...
Melakukan tari Lulo adalah pengalaman
pertama bagi saya, sempat kikuk awalnya, karena saya tidak terbiasa menari
ataupun bergoyang bersama-sama, apalagi sambil bergandeng tangan. Hanya
memerhatikan yang lain dan akhirnya saya sudah mulai bisa menyesuaikan gerakan
mereka. Ada hal yang membuat saya senang ditengah-tengah mereka, yaitu
keakraban yang terjalin, dan hal serupa pun dirasakan oleh sepupu dan
orang-orang yang sempat saya tanya-tanya tentang kesan pertama saat melakukan
Lulo. Menurut Ilham, salah satu pegawai sepupuku yang mengaku suka ikut Lulo
sejak kecil hingga dewasa, menjadikan Lulo ini sebagai ajang kumpul keluarga
ataupun kerabat bahkan dia mengaku mendapatkan jodoh pada saat ikut Lulo.
Walaupun banyak hal yang berubah dari tarian
ini, mulai dari pakaian yang dikenakan yang seharusnya mengenakan pakaian adat,
musik dan variasi gerakan juga banyak berubah, seperti yang dicontohkan oleh om
Igo, perbedaan gerakan tarian yang menghentakkan kaki seolah-olah menginjak
padi, terkadang tidak dilakukan oleh orang yang baru pertama kali ikut Lulo,
itu dikarenakan kurang pahamnya mereka terhadap tarian ini. Tetapi terlepas
dari semua itu makna dari Lulo ini tetap abadi, yaitu suka cita dan
menciptakan keakraban.
Tari Lulo sendiri telah membuktikan diri
sebagai tarian tradisional yang mampu hidup dengan berbagai derasnya arus
modernitas. Dalam banyak kasus, tradisi kesenian lokal biasanya akan punah jika
berhadap-hadapan dengan seni kontemporer. Namun tari Lulo merupakan tarian yang
memiliki daya resistensi yang cukup kuat terhadap pengaruh modernitas. Salah
satu faktor yang menyebabkan tari Lulo tetap dikenal sepanjang sejarah
masyarakat Kendari adalah kemampuannya untuk menerima perubahan dengan tanpa
kehilangan cirinya.
0 komentar:
Posting Komentar